0

Andai Saja Nasi Bisa Bicara

Banyak-banyak makan.. Jangan ada sisa.. Makan jangan bersuara..
Ingat lagu ini ga? Waktu TK suka diajarin sama Bu Guru waktu sebelum makan siang.. Dari kecil sebenarnya kita udah diajarkan (didoktrin kali ya) untuk ga mubazir loh.. Agak disayangkan aja, beberapa fenomena yang sering terjadi di sekitar kita dan dianggapi sudah lazim dilakukan. Saya ingin menyoroti masalah mubazir dalam makanan. Misalkan di Kantek*, saya sering menemui ketika makan bareng temen dan mendapati mereka tanpa pikir panjang untuk menyisakan makanan. Hal ini terjadi terutama pada temen wanita dengan alasan udah kenyang, ga kuat lagi atau alasan takut bikin gemuk dsb. Fenomena lainnya yang terjadi adalah lapar mata, tidak mengambil lauk secukupnya memperturutkan hawa nafsu seakan sangat mampu menghabiskan semua menu yang ada di depan mata. Ya inilah salah satu bentuk pemubaziran yang banyak kita lakukan dan sudah menjadi pembiasaan. Siapa oknumnya? Bisa jadi diri kita sendiri.
Kita tidak pernah tau, di butir nasi manakah berkah makanan itu terletak, bisa jadi di butir nasi terakhir. Tapi, ya sayaang sekali, kita suka membuang dan menyia-nyiakannya.
Saya ingat sekali, waktu alm. Pak Gaek** betapa mewanti-wanti untuk tidak makan bersisa. Bahkan sampai butir terakhir. Pak Gaek selalu bilang, "1 butir nasi butuh 3-5 bulan untuk menghasilkannya, makanya jangan menyisakan". Almh. Nenek pun suka menasihati, "setiap butir nasi yang tertinggal akan menangis jika dia tidak dimakan". Sangat bertolak belakang sekali jika mencoba melihat realita yang ada pada saudara-saudara kita yang bisa dikatakan mereka "tidak lebih beruntung" dari pada diri kita. Mereka kelaparan. Berikut saya menemukan sebuah kutipan ketika berselancar di dunia maya,
bukan untuk menangis dan merenung, karna malam pun kami harus memikirkan makan apa kami sekarang dan esok pagi? apa harus kami rebus belatung yang menempel di celah-celah jari kaki kami, atau menggodok bakteri yang kami pelihara di dalam tubuh kami??? mereka menyia-nyiakan sebutir nasi di meja jamuan, sementara kami memakan batu yang kami pepes agar menjadi ubi rebus, berpesta pora di tengah lapar yang meradang, sementara kami membiarkan belatung menghujam jantung kami.
Andai saja nasi yang kita sisakan bisa bicara, mungkin ia akan mengatakan, "Hai manusia, aku mungkin akan jauuuh lebih berbahagia dan merasa lebih berharga jika aku tidak bersamamu. Tega benar rasanya kau membuangku, dan menjadikan tong sampah menjadi hunianku. Syukur-syukur aku dipungut oleh orang yang membutuhkan dan menjadikanku pengganjal perut agar mereka tertidur nyenyak". Teman-teman, apa salahnya kita mengukur kemampuan menghabiskan makanan sebelum benar-benar mengambil makanan. Ambillah satu-persatu, jika ingin makan lagi, kita bisa nambah lagi kan. Jika tetap bersisa, membungkus dan membawanya pulang bisa jadi solusi terbaik, bukan? Hmm, realitanya, agaknya ada rasa "gengsi" di sebagian besar orang jika melakukan hal ini. Harusnya kita harus lebih "gengsi saat ingin meninggalkan makanan". Jika perasaan "ga gengsi meninggalkan makanan" itu muncul, coba deh ingat-ingat lagi, bagaimana jasa petani yang tanpa lelah menghasilkan beras untuk kita masak. Hujan terik mereka tempuh untuk menghasilkan beras-beras kita. Tanpa mereka, tentu saja kita yang sudah terbiasa makan nasi ini akan kocar-kacir jika tidak lagi punya beras untuk dimasak. Ayo kita hargai jasa petani!
Back to Top